Humanisme adalah asas terpenting dari lima asas yang ada dalam Gerakan Kemasonan, selain demokrasi, sosialisme, monotheisme, dan nasionalisme. Penjelasan dari kelima asas itu, seperti ditulis oleh A.D El Marzededeq dalam buku Freemasonry Yahudi Melanda Dunia Islam adalah:
Pertama, Humanisme. Dalam pengertian Freemasonry (Free: bebas Mason: Tukang Batu; ) adalah sebuah gerakan kemanusiaan untuk membawa manusia kepada ‘CahayaTerang’, yang di dalamnya manusia dapat saling tolong menolong tanpa membedakan agama, ras, suku, dan paham. Humanisme dalam pengertian Freemasonry juga mengacu pada internasionalisme, persamaan derajat antara semua bangsa di dunia. Doktrin halus humanisme menyatakan, pengabdian terhadap kemanusian harus disertai dengan upaya membuang sekat-sekat agama.
Kedua, Demokrasi. Dalam pengertian Freemasonry adalah sebuah sistem yang menghasilkan hukum buatan manusia berdasarkan suara rakyat, bukan berdasarkan hukum yang dibuat oleh Tuhan. Mereka mengampanyekan slogan vox populi vox dei (suara rakyat, suara Tuhan). Dalam demokrasi, suara seorang penjahat setara dengan suara seorang ulama. Freemasonry berusaha keras mendirikan republik-republik demokrasi di seluruh muka bumi.
Ketiga, Sosialisme. Dalam pengertian Freemasonry adalah sebuah sistem yang meniadakan hak milik pribadi, seperti halnya Freemasonry yang juga mendukung pemerataan hak milik. Sejalan dengan sosialisme, Freemasonry adalah lembaga tempat usaha bersama, demi kemakmuran bersama, yang menyatakan bahwa hak milik terbesar berada di tangan negara. Sosialisme dijadikan jubah kelompok Freemasonry untuk memasarkan paham komunisme, termasuk di Indonesia. Banyak aktifis “sosial-demokrat” Belanda yang menjalin hubunga dan datang ke Hindia Belanda pada masa lalu, sejatinya adalah seorang Mason.
Keempat, Monotheisme. Dalam pengertian Freemasonry, monotheisme yang dimaksud adalah kesatuan dalam semua agama, semua keyakinan, semua sesembahan. Freemasonry menghormati semua agama dan meyakinkan akan semua anggota agar mengakui kebenaran dan kesucian semua agama. Monotheisme Freemasonry mengajarkan ‘Kesatuan Hidup’dalam menuju kepada ‘Hal Yang Satu’. Doktrin ini banyak diamalkan oleh kelompok kebatinan di Jawa.
KeIima,Nasionalisme. Dalam pengertian Freemasonry adalah lembaga kebangsaan dari semua bangsa di dunia. Asas kebangsaan dalam setiap negara, selalu dianjurkan oleh jaringan Freemasonry.
Tujuannya, seperti tercermin dalam gerak kebangsaan di Turki, bahwa hukum nasional harus mengacu pada karakteristik bangsa yang bersangkutan, bukan pada hukum buatan Tuhan.
Tokoh-tokoh Gerakan Kemasonan yang berasal dari para priyai Jawa mengamalkan betul asas-asas yang diajarkan dalam gerakan ini. Mereka misalnya banyak terlibat dalam nrengampanyekan asas kebangsaan, persaudaraan kemanusiaan, dan nilai-nilai pluralisme yang menganggap semua agama menuju pada hal yang sama, selama mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan.
Humanisme yang dikampanyekan Gerakan Kemasonan diantaranya pemahaman soal ukuran nilai baik dan benar. Baik dan benar menurut pandangan mereka diukur dengan nilai-nilai kemanusiaan, bukan oleh aturan wahyu. Mereka tak mempercayai surga dan neraka, tetapi meyakini bahwa setiap perbuatan pasti
mengandung karma. Jika perbuatan itu baik, maka kodrat alam akan memberi imbalan kebaikan. Jika buruk, maka karma buruk akan menimpa atau setidaknya nurani akan berontak untuk mengatakan itu tak baik.
Minna zulumat ilaanuur BUKAN LAH Habis Gelap Terbitlah Terang
Pemahaman seperti ini persis seperti apayang diungkapkan oleh Raden Ajeng Kartini dalam suratnya kepada E.C Abendanon, 15 Agustus 1902,yangmengatakan, “Tuhan kami adalah nurani, neraka dan surga kami adalah nurani. Dengan melakukan kejahatan, nurani kamilah yang akan menghukum kami. Dengan rnelakukan kebajikan, nurani kamilah yang memberi kurnia. lngat, pemikiran Kartini dalam suratnya-suratnya sangat bercorak theosofis, yang mana antara Theosofi dan Gerakan Kemasonan
adalah satu kesatuan.
Ada baiknya penulis sedikit kembali mengungkap tentang bagaimana pemikiran Kartini, siapa saja teman korespondensinya, dan bagaimana hubungannya dengan orang-orang Belanda berdarah Yahudi. Sebab pada buku sebelumnya, Gerakan Theosofi di Indonesia, dalam bab “R.A Kartini, Rekayasa Kolonialis dan Doktrin Theosofi,penulis banyak mendapat sanggahan yang perlu diluruskan. Ada yang mengatakan, bahwa Kartini berperan dalam membendung upaya Kristenisasi. Ada juga yang menyebut, surat mennyurat Kartini dengan judul”Habis Gelap, Terbitloh Terang” terinsiprasi dari ayat Al-Qur’ an ” Minazhulumaat ilaannuur” . Kemudian yang lain mengatakan, Kartini sudah berpaling dari pemikiran sebelumnya dan menjadikan Al-Qur’an sebagai sandaran setelah berguru pada seorang Kiai.
Untuk pendapat yang terakhir, penulis menilai suatu karunia Allah jika Kartini berpaling dari pemikiran yang bercorak Theosofis menuju kepada pemikiran yang berlandaskan Al- Qur’an. Namun, tentu saja fakta sejarah terkait Kartini yang berada dalam pengaruh pemikiran Theosofi seperti tercermin dalam surat-suratnya haruslah tetap ditulis sebagai fakta bahwa ia pernah berada dalam alam pemikiran Theosofi dan berhubungan dengan para keturunan Yahudi. Fakta ini sekadar ingin menunjukkan betapa kuatnya pengaruh jaringan mereka dalam merekrut kalangan priyai dan keturunan priyai, termasuk Kartini yang menjadi idola wanita Indonesia.
Sementara soal buku “Habis Gelap, Terbitlah Terangl’ yang disebut terinspirasi dari ayat Al-Qur’an, diterbitkan pada tahun 1917, jauh hari setelah Kartini wafat pada 1904. Buku yang diterbitkan oleh Kartini Fonds di Belanda ini awalnya berjudul “Door Duisternis tot Licht”, yang kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane, seorang sastrawan anggota Theosofi dengan judul “Habis Gelap, Terbitlah Terang.” Jika demikian, maka judul buku yang disebut merujuk pada Al-Qur’an adalah berasal dari Armijn Pane, bukan dari Kartini. Sedangkan judul yang berbahasa Belanda “Door Duisternis tot Licht “, apakah buatan orang
Belanda atau dari Kartini sendiri, masih belum jelas. Sebab, dalam upacara Freemasonry juga dikenal kata-kata dari grand master mereka yang berbunyi,”Kalian dalam zulumat (kegelapan) dan kini aku bawa kalian ke dalam Nur, bertaubat dan menangislah kalian mengingat dosa-dosa kalian semasa dalam zulumat itu.” Artinya, istilah dari kegelapan menuju cahaya,juga digunakan Freemasonry untuk merekrut anggota.
Sedangkan jika ada yang menyebut bahwa Kartini menolak Kristenisasi, menurut penulis, Kartini tak menolak Kristenisasi an sich,namun menolak adanya dominasi zending dalam mengajak masuk ke agama tertenfu. Karena menurut Kartini semua agama sama, tak boleh ada yang merasa paling benar. Dalam surat kepada E.CAbendanon, 3l Januari 1903, ada kalimat Kartini yang menyatakan,’Kalau orang mau juga mengajarkan agama, kepada orang Jawa, ajarkanlah kepada mereka Tuhan yang satu-satunya, yaitu Bapak Maha Pengasih, Bapak semua umat, baik Kristen maupun Islam, Budha maupun Yahudi, dan lain-lain.”
Kemudian perhatikan juga surat kepada Dr N Adriani pada 5 Juli 1903, seorang evangelis (penginjil) yang bertugas di Sulawesi,”Tidak peduli agama apa yang dipeluk orang dan bangsa apa mereka itu, jiwa mulia akan tetap mulia juga dan orang budiman akan budiman juga. Hamba Allah tetap dalam tiap-tiap agama, dalam tengah-tengah segala bangsa.”
Masih banyak lagi surat menyurat Kartini yang menunjukkan pemikirannya yang bercorak pluralisme, mengakui kebenaran semua agama. Artinya, jika Kartini menolak upaya Kristenisasi, ifu semata-matakarenaia tak ingin satu agama mendominasi atau merasa paling benar, dengan cara-cara penyebaran melalui misi zending. Kartini mengakui semua agama sama benar, berasal dari Yang Satu, seperti tercermin dalam surat-suratnya. Pemahaman Kartini jelas mengacu pada humanisme, pluralisrne, dan kebatinan.
Diantara sahabat Kartini dalam korespondensi adalah van Kol, yang tak lain adalah anggota Freemasonry yang menjadi salah seorang pendiri Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP), Estella Zeehandelaar, perempuan keturunan Yahudi aktifis SDAP, J.H Abendanon, ahli hukum yang menjadi Direktur Pendidikan,Ibadah, dan Kerajinan di Hindia Belanda, dan Ny.R.M Abendanon, perempuan Yahudi keturunan Puerto Rico, istri kedua J.H Abendanon. Semuanya berdarah Yahudi, dan aktif di organisasi bentukan Yahudi.
Kembali ke soal humanisme yang menjadi doktrin pokok Freemasonry. Doktrin ini menjadi jualan jaringan Freemasonry untuk menyebarkan gagasan-gagasannya. Propagandis Freemasonry masa lalu di Jawa sering menggunakan istilah perikemanusiaan, kemanusiaan universal, persaudaraan umat manusia, dan lain sebagainya, yang ujungnya adalah menihilkan peran dan pentingnya nilai-nilai agama.Tak heran, jika organisasi-organisasi berbasis Jawa yang berada dalam pengaruh jaringan ini sering menggunakan istilah ini, seperti organisasi kebatinan, Perkumpulan Perikemanusiaan (Permai) yang dipimpin Ki Yudoprayitno dan aliran kepercayaan “Agama Kuring” yang didirikan oleh Mei Kartawinata di Jawa Barat. Agama Kuring berasaskan pada, “Ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, dengan rnenjunjung tinggi segala agama dan menghormati segala bangsa dengan jalan perikemanusiaan menuju keselamatan dunia-akhirat”. Dalam kepercayaan Agama Kuring, Islam dianggap sebagai agama impor yang menjajah Tanah Pasundan, persis seperti pemyataan kelompok kebatinan di Jawa.
Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara dan para tokoh kebatinan yang tergabung dalam Kelompok Diskusi Selasa Kliwon, bahkan tak mencantumkan sama sekali asas Ketuhanan. Tiga asas Taman Siswa adalah:Mengabdi kepada perikemanusiaan, kepribadian
sesuai kodrat alam, dan kemerdekaan.a0 Asas ini sempat mendapat protes dari umat Islam, karena tak mencantumkan nilai-nilai Ketuhanan. Melihat dari asas-asas tersebut, sangat jelaslah bagaimana Taman Siswa sesungguhnya, yang meletakkan pengabdian kepada perikemanusiaan di atas segala-galanya, persis seperti cita-cita Freemasonry.
Paham humanisme, sejatinya adalah jebakan yang berbahaya bagi akidah Islam, di mana ujungnya, setnua ajaran-ajaran agama, jika bertentangan dengan kemanusiaan, maka ajaran-ajaran tersebut harus ditolak. Nilai-nilai kemanusian menjadi “superior” dibandingkan ajaran-ajaran agama. Inilah yang menjadi keyakinan Jaringan Islam Liberal melalui corong utamanya, Ulil Abshar Abdalla. Dalam sebuah tulisan berjudul “Doktrin-Doktrin yang kurang Perlu dalam Islam”, Ulil menulis ada sebelas ajaran dalam Islam yang dianggap kurang perlu karena bertentangan dengan rasio, nilai-nilai kemanusiaan, dan pluralisme. Diantara doktrin yang kurang perlu itu, menurut Ulil adalah, “doktrin bahwa kesalehen ritual lebih unggul ketimbang kesalehan sosial. Orang yang beribadah lebih rajin kerap dipandang lebih “Muslim” ketimbang mereka yang bekerja untuk kemanusiaan, hanya karena mereka beribadah tidak secara rutin. Agama bisa ditempuh dengan banyak cara antara lain melalui pengabdian kepada kemanusiaan.”
Meski dibungkus dengan kata-kata yang seolah bagus, namun tujuan dari humanisme yang dikampanyekan Freemasonry adalah upaya mendestruksi ajaran-ajaran agama. Seperti tercantum dalam Notulen Kongres Freemasonrry l9l I yang menyatakan, “Tidaklah cukup bagi kita hanya mengalahkan para pemeluk agama dan peribadatannya dengan humanisme sejati, melainkan dengan humanisme harus dapat memusnahkan mereka itu.” Inilah wajah sesungguhnya dari kampanye soal nilai-nilai humanisme yang mereka agung-agungkan.
(Artawijaya, Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara, hal 24 -31)
Setiap tahun adik kita di Taman Kanak-kanak memakai kebaya dan Baju adat berparade 21
April mengingat kiprah seorang perempuan yang dianggap berjasa dan diagungkan sebagai pahlawan. Kita pun pernah ikut merayakannya. Tanpa sadar kita juga memperingati akan nilai-nilai yang ditawarkan perempuan yang ternyata dibesarkan dalam asuhan ajaran Freemason. Suka atau tidak, kita dikelabui, disisipi dengan nilai-nilai yang salah dalam pandangan Yang Maha Kuasa. Sadar atau tidak kita diajak untuk melanggengkan nilai-nilai itu. Nilai-nilai yang bisa menggiring kita seperti ternak digiring ke tempat jagal.
Bungkus kemanusiaan dengan HAMnya, Demokrasi dengan pemerintahannya yang sangat korup, Monotheisme dengan Ketuhanan nya yang sarat pemujaan berhala, Sosialisme dengan keadilan yang berpihak pada golongan tertentu saja, dan Nasionalisme yang bila dibaca akan berbunyi penghambaan orang Timur pada orang Barat, kulit berwarna kepada kulit putih. Setelah ternak diperah, dicocok hidung dibodohi, alih-alih selamat, malah membuat kita celaka pula di akhirat akibat tunduk pada nilai-nilai yang menistakan agama semacam itu. Sesat!
Perseteruan dan perselisihan antara Iblis dan Adam as titik nol perseteruan abadi. Dalam sejarah peradaban manusia, penerus nilai itu dilanjutkan antara Habil dan Kabil mewarnai sejarah peradaban manusia dengan darah. Perang Salib yang digaungkan oleh Paus Urban III dilancarkan oleh gerombolan rampok gembel Eropa yang iri dengan kemakmuran Turki membanjiri Turki dengan darah kaum muslim (Baca: Ancaman Global Freemasonry) Tonggak demi tonggak dalam sejarah dilalui. Di Indonesia saat ini masih banyak Kartini, Boedi Oetomo, Ki Hadjar Dewantara muda berperan sebagai penerus nilai-nilai kejahilian. Menjelma Ulil Abshar, Gunawan Muhammad, Tsauqany, Gus Dur, Cak Nur dan banyak lagi. Nilai perseteruan itu akan tetap bertahan hingga akhir jaman. Selamanya harus ada yang berpihak ke masing-masing kubu. Kubu Adam atau kubu Iblis. Jika kita diam mereka terus bergerak, jadi kita pun harus senantiasa bergerak, atau diam dijadikan mereka seperti ternak.. naudzubillah tsuma naudzubillah.. Audzu bi ..ilahinnaas min syari was-was sil khonnas..
sumber : http://sokabuma.wordpress.com/2012/04/27/r-a-kartini-tukang-batu-yang-humanis-believe-it-or-not/